ADAB MEMULIAKAN ULAMA

6 KEKUATAN YANG AKAN MEMBUAT RUMAH TANGGA MENJADI PERAHU KE SURGA
September 12, 2020
HIKMAH IBADAH HAJI DAN UMROH
September 15, 2020

Dikisahkan suatu waktu Harun ar-Rasyid mengirim anaknya kepada seorang ulama yang bernama al-Asma’i agar ia mengajarkan ilmu dan adab kepada anaknya itu. Setelah berselang lama al-Asma’i mengajarkan anak sang khalifah ketika itu, Harun ar-Rasyid mengunjungi tempat belajar anaknya di kediaman al-Asma’i. Tak disengaja Harun ar-Rasyid ketika itu melihat anaknya sedang mencucurkan air wudlu dengan kedua tangannya kepada al-Asma’i. karena peristiwa itu kemudian Harun ar-Rasyid berkata kepada al-Asma’i,

Hanyasannya aku mengutus anakku kepadamu itu agar engkau mengajarkan ilmu dan adab mengapa engkau tidak menyuruh anakku itu untuk menyiramkan air dengan salah satu tanggannya dan mencuci kakimu dengan salah satu tangannya yang lain” (Ta’limul Muta’allim : 18).

Seperti ini khalifah Harun ar-Rasyid memuliakan ulama yang sekaligus guru bagi anaknya itu. Meskipun Harun ar-Rasyid menjabat sebagai Khalifah ketika itu namun ia mengetahui kemuliaan dan kedudukan mulia seorang ulama dalam Islam. Maka sudah selayaknya anaknya itu memuliakan al-Asma’i dengan mencuci kaki al-Asma’i menggunakan tangannya secara langsung.

Setiap muslim mempunyai kewajiban untuk memuliakan para ulama. Ketika seorang hamba memuliakan para ulama, justru hakikatnya ia sedang memuliakan syariat Allah. Karena ajaran syari’at ini tidak akan sampai kepada kita semua sampai saat ini jika tanpa perjuangan dan pengorbanan para ulama. Nabi saw. telah menegaskan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi,

 “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak” (H.R at-Tirmidzi Bab Maa Jaa fi fadhlil Fiqhi ‘alal ‘Ibadah. No 2682)

Memuliakan para ulama inipun bahkan telah dilakukan oleh para sahabat nabi saw. Abdullah bin ‘Abbas ra. misalnya, suatu waktu ia menuntun kendaraan Zaid bin Tsabit al-Anshari. Sampai Zaid pun terheran atas apa yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas kepada Zaid dan mengganggap perbuatan Ibnu ‘Abbas tersebut berlebihan. Terlebih, Zaid pun sadar dengan kemuliaan ‘Abdullah bin ‘Abbas yang begitu luhur kedudukannya di mata Rasulullah saw. Ketika itulah ‘Abdullah bin ‘abbas kemudian menjelaskan kepada Zaid.

Seperti inilah kami dahulu diperintahkan untuk memuliakan para ulama kami” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim : 97)

Memuliakan para ulama ini terus-menerus turun-temurun kepada generasi selanjutnya setelah para sahabat. Tidak ada satupun seorang murid yang tidak menghormati dan memuliakan para ulama kecuali seorang murid yang memang tidak memahami dan bodoh terhadap kewajiban adab memuliakan para ulama.

Imam asy-Syafi’i  suatu waktu dicela karena berlebihan dalam sikap tawadlunya kepada para ulama. Kemudian Imam asy-Syafi’i menjawab celaan itu dengan sebuah sya’ir,

Aku merendahkan jiwaku kepada para ulama maka para ulama memuliakanku dengan ilmu mereka. Tidak akan mulia suatu jiwa yang tidak merendahkan diri di depan para ulama”  (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim : 97)

Dalam kesempatan lain Imam asy-Syafi’i pernah mengatakan ketika menjelaskan betapa hormatnya ia kepada Imam Malik gurunya,

Aku membuka lembaran kitab didepan Imam Malik dengan begitu perlahan karena segan dan hormat kepadanya agar beliau tidak mendengar suara lembaran kertas ini ketika mengajar” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim : 98).

Imam as-Syafi’i melakukan hal tersebut karena khawatir suara kertasnya mengganggu Imam Malik yang sedang mengajar.

Apa yang dilakukan oleh Imam asy-Syafi’i ini sangat sesuai dengan bimbingan Nabi saw. karena Nabi saw. sendiri yang secara langsung menuntunkan agar umatnya memuliakan para ulama. Nabi saw. pernah bersabda,

Tidak termasuk ummatku orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak mengasihi yang lebih muda dan tidak pula mengerti hak seorang ulama.” (H.R Ahmad. Bab Hadis ‘Ubadah bin as-Shamit. No 22755)

Wasiat Nabi ini mendorong para ulama untuk menulis kitab-kitab tentang memuliakan para ulama. Diantara ulama yang membahas masalah ini diantaranya Imam Ibnu Jama’ah. Ia banyak mengulas tentang memuliakan ulama ini dalam kitabnya Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim. Dalam kitabnya itu beliau menjelaskan,

Seorang penuntut ilmu hendaknya melihat gurunya dengan pandangan penuh kehormatan dan percaya kepada gurunya dengan derajat kesempurnaan, karena hal itu lebih dekat pada nilai manfaat. Sebagian salaf terbiasa apabila menghadap kepada gurunya kemudian bersedekah terlebih dahulu dan berdo’a, ‘Ya Allah tutuplah aib guruku dariku dan janganlah hilangkan keberkahan ilmunya dariku’…. Seorang penuntut ilmu hendaknya ta’at kepada gurunya dalam segala urusan dan tidak berselisih paham dengan pendapat gurunya, bahkan ia bersama gurunya seperti pasien di hadapan seorang dokter yang terampil, ia bermusyawarah tentang apa yang ia maksud dan memilih yang terbaik atas keridhaan gurunya. Hendaknya ia melebih-lebihkan dalam menghormati gurunya dalam bentuk taqarrub kepada Allah dengan ber-khidmah kepada gurunya. Dan ia mengetahui bahwa kerendahannya kepada gurunya itu merupakan kemuliaan, ketundukannya kepada gurunya merupakan kebanggaan, dan ke-tawadluaannya  kepada gurunya itu merupakan keluhuran” (Tadzkirah al-Sami wa al-Mutakallim :97- 98)

Penulis akhiri tulisan ini dengan sebuah sya’ir yang menggambarkan betapa pentingnya seorang muslim memuliakan para ulama, sebagaimana berikut,

Sungguh seorang ‘Alim dan dokter itu

Keduanya tidak akan memberi nasihat jika tidak dimuliakan

Maka bersabarlah terhadap penyakitmu jika engkau bersikap kasar kepada dokter

Dan bersikap qana’ahlah dalam kebodohan jika engkau bersikap kasar kepada seorang ulama.

 

Wallahu A’lam bis Shawwab.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *