Semenjak manasik di tanah air, ustadz pembimbing haji kami dalam setiap tausyiahnya selalu menekankan bahwa selama di tanah suci, terlebih saat sedang mengenakan pakaian ihram kita harus selalu menjaga ucapan. Maka benarlah jika ada pepatah menyebutkan: “Mulutmu harimaumu”. Secara khusus di surat Al Baqarah 197 disebutkan siapa saja yang sedang berhaji janganlah berkata jorok (rafats), contohnya candaan yang mengarah pada hal yang berbau porno, fusuq: perbuatan fasik yaitu perbuatan maksiat kepada Allah, dan jidal yaitu bertengkar atau berbantah-bantahan.
Tiga larangan itu sangat mudah terjadi pada kebanyakan kita. Contohnya seperti rafats, hampir semua bahan lawakan di televisi bahkan di BB Group kiriman member grup mengarah pada sesuatu berunsur porno, meskipun dalam kadar yang bervariasi. Semakin vulgar, semakin lucu dan memancing tawa. Hal lain adalah berbantah-bantahan. Di televisi sering kulihat forum debat atau diskusi yang mempertontonkan perdebatan antara dua pihak yang memang sudah diatur membawa aspirasi yang berbeda. Belum lagi sinetron yang banyak sekali mempertontonkan adegan perseteruan antara dua orang dengan mimik muka penuh kebencian. Sesuatu yang terus-menerus menstimulus indera kita, terutama mata dan telinga hampir pasti akan masuk ke dalam pikiran.
Ucapan tak lain tak bukan adalah hasil keluaran dari pikiran dan hati. Sudah merupakan sunnatullah apa yang terbetik di hati dan pikiran pasti akan terucap.
Ibu mertuaku berpesan, Mbak Ratna, di sana nanti wis pokok e kalau melihat yang macem-macem jangan ngomong apa-apa, istighfar aja ya, kalau perlu ya mlengos nggak usah dilihat lagi. Aku tersenyum-senyum mendengar nasehat ibu tapi dalam hati aku berjanji akan berusaha menaatinya. Benarlah apa yang dipesankan teman-teman, ibu, dan pak ustadz, betapa sulit mempraktekkan nasehat Ibu.
Sesampai di Madinah kami mulai berinteraksi dengan jamaah lain dari berbagai negara yang tentunya mempunyai penampilan fisik serta karakter yang berbeda dengan kita. Dari fisik sudah jelas ukuran tubuh rata-rata jamaah dari negara-negara di jazirah Arab seperti Sudan, Ghana, Ethiopia, Turki dan Arab lebih besar dari jamaah asal Asia dan Asia tenggara seperti Indonesia, Malaysia, India, Bangladesh, Sri Lanka, Pakistan. Ukuran tubuh jelas sangat berpengaruh dalam semua aktivitas ibadah haji yang 99% merupakan ibadah fisik. Bayangkan jika dengan mereka-mereka, kita harus berdesakan.
Ibadah terberat baik dalam ujian fisik maupun mental adalah tawaf yaitu berjalan berputar mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali. Meskipun sedang berada sangaaaat dekat dengan Ka’bah yang mulia, yang memiliki aura dan energi yang sangat luar biasa, tetapi manusia yang juga selalu dalam godaan setan, dalam kondisi lelah, berdesakan, dengan ribuan manusia yang punya bermacam karakter, jika tidak meluruskan niat dan membersihkan serta menjaga hati, pastilah akan mengeluh, menggerutu dan marah yang akan menodai dan merusak pahala tawaf itu sendiri. Belum lagi godaan setan sehingga kita menjadi lupa dengan jumlah putaran yang sudah kita jalani; atau lalai tidak membaca doa. Itu semua terjadi padaku !
Di tawaf pertamaku yaitu tawaf dalam rangkaian Umrah, aku memang sudah menyiapkan diri bahwa kondisinya berdesakan. Yang belum terpikir olehku adalah sering kali ada sekelompok kecil jamaah yang dengan seenaknya dan tampak sengaja berjalan memotong arus barisan tawaf. Mereka itu sudah menyelesaikan 7 putaran tetapi karena berada di lingkaran dalam sementara mereka sudah harus keluar sebelum batas akhir tawaf supaya tidak melebihi 7, maka jadilah mereka terburu-buru ‘memotong’ atau ‘menyebrangi’ barisan sedemikian banyak orang. Pengalaman pertamaku itu sempat membuat pikiran logisku berdebat..”kenapa siih kok nggak sejak putaran ke 5 atau ke 6 sedikit-sedikit keluar dari barisan ?” Mungkin ‘setan merah bertanduk’ di hatiku yang berbisik seperti itu. Lalu ‘malaikat’ putih di sisi lain hatiku berbisik “Yaa mungkin mereka berusaha mendekat Ka’bah untuk memegang dindingnya, mau mencium Hajar aswad, mau sholat di Hijr ismail, atau memegang Maqom Ibrahim. Kalau mereka hanya bergerak di lingkaran luar manalah bisa sampai melakukan itu semua”. Akhirnya aku hanya bisa memaafkan mereka-mereka yang ‘hobby’ motong jalan seperti itu sambil mulutku tak berhenti melafadz kan istighfar.
Sabar. Itu kata kuncinya. Jikalau ribuan jamaah yang sedang tawaf itu semua sabar, betapa nyamannya. Tapi kadar kesabaran setiap orang berbedalah pasti. Aku sabar, tetapi kalau teman sekelompokku tidak sabar, maka barisan yang dipimpin oleh Mutawif (pemimpin tawaf yang membacakan doa dengan suara keras) bisa terpisah dan terpencar-pencar karena ada yang ingin lebih cepat sampai. Yang lebih sering terjadi adalah adanya jama’ah yang berjalan sendiri-sendiri (tidak berkelompok) tapi berusaha mendahului dengan cara menyelip, menyelusup di antara jama’ah yang berjalan berkelompok. Sampai pernah aku berpikir, apakah ini benar manusia atau sebenarnya setan atau malaikat yang berwujud manusia yang tujuannya ingin menguji kesabaran dan kekhusyu’an tawaf kami ? Wallahu ‘alam bishowab…astaghfirullah.
Tulisan Jamaah Alumni Haji