MENANAMKAN SIFAT JUJUR

HIKMAH IBADAH HAJI DAN UMROH
September 15, 2020
POLA PIKIR DAN SIKAP PRIBADI MUSLIM
September 17, 2020

Salah satu fondasi kehidupan adalah sifat jujur. Tanpa kejujuran, kekayaan atau pangkat setinggi apapun tidak akan memiliki arti apa-apa. Banyak orang cerdas, kaya raya, berpangkat tinggi, dan memiliki kelebihan lainnya, akan tetapi manakala tidak jujur, maka sama halnya tidak memiliki apa-apa. Orang tidak jujur tidak akan ada yang mempercayai. Bicaranya tidak akan didengarkan, dan begitu pula tulisannya tidak akan dibaca orang.

Oleh karena itu, saya seringkali berani mengatakan bahwa, kekayaan yang sama sekali tidak boleh hilang adalah kepercayaan. Seseorang boleh saja kehilangan uangnya, kendaraannya, rumahnya, jabatannya dan sebagainya, asalkan belum kehilangan kepercayaan dari orang lain maka seharusnya masih berani hidup. Sekalipun misalnya tidak memiliki apa-apa, kehidupan seseorang akan bisa diperbaiki asalkan masih dipercaya orang.

Sebaliknya, sekalipun harta kekayaannya masih utuh, tabungannya masih banyak, jabatannya masih dipegang, rumah besar dan mewah masih dikuasai, tetapi manakala yang bersangkutan sudah kehilangan kepercayaan dari semua orang, maka sama artinya mereka tidak memiliki apa-apa. Orang yang demikian itu, di tengah-tengah orang lain akan selalu dicurigai, dan tidak akan dipercaya. Maka betapa besarnya arti kejujuran dalam kehidupan ini.

Meyakinkan orang lain bahwa seseorang tergolong memiliki sifat jujur bukan perkara gampang. Kesimpulan bahwa seseorang itu memiliki sifat jujur atau tidak, maka tidak cukup atas dasar surat keterangan, sertifikat, atau ijazah. Seseorang disebut jujur tatkala sudah teruji lewat kehidupan sehari-hari. Sekalipun telah memiliki bertumpuk surat keterangan, sertifikat atau ijazah, tetapi belum teruji dalam kehidupan nyata, maka orang lain tidak serta merta mempercayainya.

Masih terkait dengan kejujuran, kesulitan juga terletak pada upaya menanamkan sifat terpuji ini kepada seseorang. Seseorang diajari tentang kejujuran berhari-hari, berbulan-bulan, dan bahkan bertahun-tahun, belum tentu berhasil menjadi seorang yang benar-benar jujur. Berbeda dengan manusia pada umumnya, Nabi Muhammad sejak lahir sudah dikaruniai sifat jujur hingga oleh masyarakat diberi julukan al Amien yang artinya dapat dipercaya.

Mengajarkan tentang kejujuran pada tingkat kognitif sebenarnya tidak sulit. Siapapun sedemikian mudah memahami bahwa kejujuran itu penting. Bahwa orang yang berperilaku tidak jujur akan merugikan diri sendiri, orang lain, dan bahkan masyarakat luas. Selain itu orang tidak jujur akan celaka dan akan mendapatkan sanksi baik dari masyarakat maupun negara. Orang yang tidak jujur, yakni, berani melakukan tindak korupsi misalnya, maka akan dihukum berat dan dirinya, keluarganya, dan bahkan kenalannya akan menanggung malu.

Resiko tidak jujur seperti itu sudah diketahui oleh semua orang. Bahkan para koruptor sendiri juga sudah tahu, bahwa korupsi itu tidak baik, membahayakan bagi dirinya sendiri, keluarga, dan akan meruntuhkan bangsa dan negara. Akan tetapi, ternyata perbuatan itu masih saja dilakukan. Oleh karena itu, pendidikan anti korupsi, ——kalaupun harus diadakan, maka tidak cukup hanya sekedar menyampaikan bahan pelajaran yang telah tertuang dalam dokumen sillabus atau kurikulum, melainkan harus dijalankan lewat kehidupan sehari-hari melalui contoh atau ketauladanan. Pertanyaannya adalah, siapa yang mampu memberi contoh itu ?

Berbicara tentang contoh atau tauladan di zaman sekarang ini tidak mudah. Tidak sedikit pejabat, politikus, dan bahkan oknum penegak hukum sendiri sudah sedemikian dekat dengan perilaku tidak jujur itu. Suara untuk mendapatkan jabatan, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif ternyata bisa direkayasa dan atau dibeli. Tentang hal itu telah banyak orang mengetahuinya. Maka, artinya ketidak jujuran bergelimang di mana-mana. Contoh perilaku tidak jujur justru membanjir dibanding contoh kejujuran yang hanya menetes. Pada saat keadaan yang demikian itu, maka menanamkan kejujuran menjadi sangat sulit. Padahal sebagaimana disebutkan di muka, kejujuran adalah fondasi kehidupan yang sangat penting.

Di tengah-tengah kesulitan upaya menanamkan kejujuran ini, sementara orang justru memaknainya dengan amat sederhana. Dianggapnya, orang tidak jujur disebabkan oleh karena kekurangan uang. Atas dasar anggapan itu, maka untuk menjadikan orang jujur juga hanya diambil langkah sederhana. Misalnya, agar para pegawai atau pejabat tidak korup, maka gaji atau tunjangannya dinaikkan. Mereka mengira bahwa dengan gaji dan atau tunjangannya naik, maka kebutuhannya tercukupi dan danpaknya tidak korupsi lagi.

Namun pada kenyataannya, justru dengan gaji atau tunjangannya dinaikan, maka kebutuhannya juga naik. Bahkan, antara kenaikan gaji atau tunjangan dengan kenaikan kebutuhan tidak sebanding. Kenaikan kebutuhannya jauh lebih tinggi dari kenaikan gaji atau tunjangannya. Rupanya, banyak orang lupa atau tidak tahu, bahwa sumber ketidak-jujuran itu adalah di hati. Hati yang sedang sakit, maka akan sangat mudah melakukan ketidak- jujuran. Oleh karena itu, menjadikan agar orang jujur, caranya adalah berusaha menyehatkan hati orang yang bersangkutan. Sekalipun hal itu juga tidak mudah dilakukan, kecuali oleh dirinya sendiri. Nabi menjadi selalu jujur hingga diberi sebutan al Amien itu, oleh karena, hati beliau selalu sehat.

Wallahu a’lam.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.