BERPIKIR, AMALAN UTAMA YANG TAK BOLEH DIABAIKAN

8 FAKTA TUBUH, MESIN CIPTAAN ALLAH YANG TAK BISA DILAMPAUI
September 26, 2020
HATI YANG LAPANG
September 30, 2020

Sebuah anggapan keliru jika ada di antara umat Islam yang melihat amalan berpikir sebagai perkara yang bukan diunggulkan dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an sendiri perintah berpikir ini berulang kali ditegaskan agar terus diamalkan dan diulang-ulang dalam banyak ayat.

Seperti

“Maka berpikirlah, wahai orang-orang yang berakal budi” (QS. Al-Hasyr [59]: 2).

 “Apakah mereka tidak memperhatikan segala kerajaan di langit dan bumi dan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah” (QS. Al-A’raf [7]: 185).

Menurut Ibn Rush, filosof Muslim di Cordoba, dalam bukunya “Fashl al-Maqal Bayna al-Hikmah wa Asy-Syariah” menerangkan bahwa kedua ayat itu menujukkan betapa berpikir adalah perintah. Dimana dalam hal ini bukan saja logika akal semata yang harus dijalankan, tetapi juga syariat secara beriringan, sehingga perintah berpikir ini dapat menyempurnakan kekuatan dzikir dalam kehidupan sehari-hari.

Muhammad Natsir dalam Capita Selecta menuliskan, “Bertebaran di dalam Al-Qur’an pertanyaan-pertanyaan yang memikat perhatian, menyuruh orang mempergunakan pikiran dan mendorong manusia supaya mempergunakan akalnya dengan sebaik-baiknya;

“Kenapa mereka tidak berfikir?”

“Kenapa mereka tiada mengetahui?”

“Kenapa mereka tiada mempergunakan akal,” dan demikikanlah seterusnya…….!”

Dengan berpikir, manusia akan terbebas dari bergantung kepada selain Allah. Oleh karena itu, Ibn Al-Jauzi dalam Shaidul Khatir mendorong umat Islam untuk hanya memohon kepada Allah, pencipta segala macam sebab. “Kembalilah pada asal mula yang pertama. Mintalah dari Dzat yang menciptakan sebab. Duhai… betapa beruntung dirimu bila engkau (berpikir dan) bisa mengetahuinya! Karena mengetahui hal itu berarti (mengerti) kerajaan dunia dan akhirat.”

Dengan diturunkannya agama Islam, akal manusia akan selamat dan menyelamatkan. Sebab, hanya dengan mengamalkan ajaran Islam semata, akal akan bisa berfungsi sebagaimana mestinya, membawa manusia pada kebaikan.

Suatu saat, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berpesan kepada Khalid bin Walid kala pertamakali menyatakan ke-Islam-annya. “Sungguh, aku memandang bahwa kamu memang memiliki akal, yang kuharap ia tidak menuntunmu kecuali pada kebaikan.”

Oleh karena itu, Islam tidak mengenal namanya dikotomi, pemisahan dan disintegrasi antara ilmu agama dan non-agama, atau antara agama dan sains, sebab sumber dan akar dari kedua ilmu tersebut satu, yakni Allah Ta’ala. Dengan kata lain, jika ada pemikir yang pikirannya melenceng dari kebenaran Islam, bisa dipastikan ia telah mengalpakan syariah Islam.

Dalam hal ini, Ikhwan Al-Shafa’ menjelaskan bahwa ilmu filsafat (berpikir) dan syariah merupakan dua aspek Ketuhanan yang secara fundamental (ushul) berkesusaian dalam tujuan dan hanya berbeda dalam hal cabang (furu’), karena tujuan tertinggi dari filsafat (berpikir) adalah Tuhan.

Buya Hamka dalam bukunya Falsafah Hidup menulis, “Agama Islam amat menghormati akal. Karena tidak akan tercapai ilmu kalau tidak ada akal. Sebab itu Islam adalah agama ilmu dan akal.”

Di sini kita bisa lihat, mengapa dahulu para ulama dalam Islam juga seorang saintis. Ibn Sina misalnya, tidak saja hafal Al-Qur’an dan pakar dalam tafsir tetapi juga seorang ahli dalam filsafat dan kedokteran.

Muhammad Natsir dalam karyanya Capita Selecta menyampaikan, apabila Ibn Sina bertemu dengan satu masalah yang sulit, sangat susah dipikirkan, ia terus pergi berwudhu’ dan pergi ke masjid, sholat dan berdoa, mudah-mudahan Allah memberinya hidayah.

“Sesudah itu terus menelaah dan bepikir kembali, karena ia tetap insaf akan kelemahannya sebagai manusia dan memerlukan petunjuk dan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,” urai Natsir.

Dengan demikian, tepat jika kemudian Muhammad Hasan Yusuf dalam karyanya “Yaumu Fii Hayatil Muslim“ memasukkan amalan mentadaburi ciptaan Allah sebagai adab seorang Muslim sepanjang hari dengan menukil ayat Al-Qur’an.

“Katakanlah: ‘Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Ankabut [29]: 20).

Untuk itu, mari bangun budaya berpikir dalam keseharian kita. Karena hanya dengan berpikir kita dapat meneguhkan keimanan, meningkatkan ketaqwaan dan pada saat yang sama menjauhi kesia-siaan dan kebathilan.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *